Baru saja saya membaca postingan mengenai Anorexia, yang secara garis besarnya adalah suatu gangguan pola makan dimana si penderita sangat berhasrat untuk mengurangi berat badannya dengan cara ber-diet ekstrim. Penderita akan menjadi sangat kurus kering karena kurangnya asupan makanan. Disebutkan juga bahwa pengaruh psikologis menjadi faktor utama yang membuat seseorang melakukan diet yang tidak tahu aturan ini. Penderita akan menahan laparnya bahkan tidak nafsu untuk makan walaupun ia merasa sangat kelaparan.
Yang saya ingin bahas adalah bahwa batapa besarnya faktor psikologis dapat membuat seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang irasional. Faktor faktor pendorong sehingga dapat terjadinya kelainan seperti ini biasanya berawal dari lingkungan tempat dimana seseorang tersebut tinggal. Lingkungan dimana seseorang dituntut, dibuat dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga individu individu tersebut dapat dianggap dan diterima dengan baik di dalam masyarakat, yang pada dasarnya diciptakan oleh pemikiran pemikiran akan apa yang dianggap baik atau tidak baik oleh sebagian orang orang tertentu yang menjadi suatu stigma. Padahal pada kenyataannya tidak setiap orang memiliki jalan pemikiran yang sama, tetapi karena hal ini sudah menjadi bagian sosialisasi, mau tidak mau tidak sedikit orang yang akan mengikuti jalur tersebut.
Stigma stigma akan hal hal yang baik dan yang buruk akan tertanam dalam pikiran, menjadi sesuatu obsesi bagi orang yang merasa belum ataupun kurang pantas untuk diterima di dalam masyarakat. Memang saya akui, saat kita hidup di dalam masyarakat dimana ketika kita berusaha untuk “berbeda”, maka disitu pula kita akan mendapatkan “stempel” sebagai orang yang memenuhi standar keinginan publik. Padahal belum tentu yang berbeda itu lebih buruk daripada yang sudah ada.
Kembali lagi ke masalah faktor psikologis sebagai faktor yang memiliki peranan besar untuk mendorong seseorang berbuat sesuatu hal yang tidak pada kaidahnya. Saya dalam hal ini juga ingin turut serta mengutarakan pendapat saya, bahwa omongan atau pembicaraan yang kita dengar sehari hari dan selalu terdengar dengan kuantitas yang cukup sering, akan tertanam dalam pikiran seseorang dan menjadi suatu bahan pertimbangan dalam dirinya sebagai usaha untuk menyamakan maupun melepaskan dirinya dengan “omongan” tersebut.
Sebagai contoh kasus anoreksia yang kini sering terdengar di telinga kita, masalah tersebut juga adalah sebagai hasil stigma ataupun pandangan salah seseorang karena ia merasa kurang atau berusaha menyamakan dirinya sesuai dengan keinginan masyarakat, dimana dalam hal ini ia pun terpaksa melakukannya agar dapat diterima di masyarakat. Dalam hal ini, wanita lah yang menjadi korban utamanya. Atas stigma di masyarakat bahwa wanita ideal adalah wanita yang berbadan langsing / kurus.
Dimana wanita bebadan langsing akan lebih cepat mendapatkan pasangan, dimana wanita langsing tersebut akan terhindar dari bahan olok olok teman temannya. Kenyataan seperti inilah yang menbuat seorang wanita akan melakukan segala cara untuk mengurangi berat badannya. Salah salah karena saking terobsesinya, malah membahayakan dirinya sendiri. Malah pada suatu waktu ketika saya melihat sebuah acara televisi yang membahas masalah anoreksia, si penderita karena sangat ingin terlihat kurus, ia mencabut gigi gigi gerahamnya agar pipinya terlihat tirus. Padahal gigi gigi geraham adalah gigi yang memegang peranan penting dalam proses penghancuran makanan sebagai awal proses pencernaan yang baik.
Stigma lainnya adalah stigma bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang berkulit putih dan mulus bak porselen. Padahal mayoritas orang indonesia berpigmen lebih gelap. Hal ini menjadi suatu bisnis yang menguntungkan dalam industri kecantikan. Dimana mana kita lihat iklan iklan berjejeran yang menampilkan model model berkulit putih (yang pada umumnya berasal dari ras yang memiliki pigmen kulit lebih putih dari ras melayu). Dengan iming iming dalam beberapa waktu setelah pemakaian akan dengan instant merubah pigmentasi kulit. Padahal kulit yang putih merupakan faktor keturunan. Apalagi saya juga pernah melihat iklan produk kecantikan yang jelas jelas menyebutkan “Kalau Cantik Itu Putih”. Wow… saya pikir ini adalah suatu bentuk penyerangan secara psikologis bagi penonton yang memiliki kulit gelap. apakah orang yang tidak putih menandakan ia tidak cantik? Cantik itu kan sebenarnya relatif, banyak faktor sebagai bahan pertimbangan. Syukur syukur orang tersebut sudah merasa nyaman dengan dirinya sendiri, tapi bagi yang secara mental sudah terlanjur terobsesi?
Maka dari itu sebenarnya masyarakat kita perlu disadarkan, dan diajarkan untuk tidak mudah di akal akali oleh pihak pihak yang mengambil keuntungan dalam kesempitan. Pandangan pandangan yang salah harus dengan cepat diluruskan. Jangan selalu membandingkan diri dengan yang lebih baik dari kita, kita coba lihat orang yang kurang beruntung dari kita. Dari situ kita bisa belajar bahwa kita ini sudah beruntung memiliki tubuh yang sempurna. Kalau ingin membenahi diri itu boleh boleh saja, setiap orang pasti ingin tampil lebih baik, tapi caranya harus benar. Pemerintah juga harus berperan lagi dalam mem-filter tayangan tayangan di media massa yang menyebarkan pandangan pandangan tidak sesuai jalur, yang menguatkan stigma salah dan mencitakan stigma salah yang baru. Sehingga segala macam tayangan yang tidak relevan tidak ditampilkan.
0 komentar:
Posting Komentar